Kamis, 29 April 2010

Apa Yang Kosmopolit dan Apa Yang Bukan

Kwame Anthony Appiah (2006) berkata, "Not Globalization; Not Multiculturalism", kosmopolitanisme adalah ekspresi kosmopolitan, yakni warga kosmos. Kosmos mengacu pada dunia, tidak dalam pengertian bumi, tapi semesta yang harmonis. Kaum kosmopolit berpendapat bahwa adanya kelompok-kelompok fundamental dalam komunitas-komunitas hanya akan menimbulkan sifat parokial yang mengarah kepada chaos, yakni semesta yang kacau. Menurut Apiah, setidaknya terdapat dua hal yang paling mendasar dari kosmopolitanisme, yaitu pertama, kewajiban kita terhadap yang lain seharusnya melampaui golongan kita, dan kita seharusnya mengambil nilai-nilai tidak hanya dari kehidupan manusia secara biologis, tapi juga kehidupan manusia secara utuh.
Dalam era globalisasi saat ini, nilai-nilai kosmopolitanisme sering diasosiasikan dengan beberapa hal yang dianggap mewakili kosmopolitan tersebut, seperti diplomat, olahragawan, artis, alat transportasi, perkotaan,dan hotel. Hal-hal tersebut dianggap mewakili nilai-nilai cosmopolitan karena sifatnya yang universalis. Diplomat, olahragawan dan artis merupakan contoh dari segelintir masyarakat yang dalam kesehariannya melakukan perpindahan satu tempat ke tempat lain tanpa terbatasi oleh sekat-sekat fundamen tertentu. Mereka memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan masyarakat dunia dengan cakrawala yang luas serta bersifat multikultur. Sedangkan alat transportasi kosmopolitanisme disini adalah pesawat yang merupakan alat transportasi yang paling mampu menjangkau seluruh kawasan di dunia. Kapal juga merupakan alat transportasi yang dianggap mewakili nilai-nilai kosmopolitanisme atas sifatnya yang mobile dari satu tempat ke tempat lain. Hotel yang bertaraf internasional juga salah satu bentuk dari pengejawantahan nilai-nilai kosmopolitanisme dimana para penghuni yang berada di dalamnya cenderung berasal dari banyak negara. Hal ini menandakan bahwa hotel internasional juga mengikuti konsepsi multikulturalisme.
Perkotaan juga dapat dikatakan sebagai kosmopolitanisme saat masyarakat yang berada didalamnya merupakan percampuran dari berbagai macam etnik dan ras. Tetapi hal tersebut tidak secara kaku kemudian dapat dikatakan sebagai kota kosmopolitan sebab kota yang masuk dalam kriteria kosmopolitan adalah adanya milieus pencampuran sosial dan budaya dan hibriditas yang melintasi batas komunal. Era saat ini, kota yang dianggap sebagai kota kosmopolitan adalah Paris, New York dan London. Kota Toronto, Hongaria, Portugis, Cina, India yang memiliki berbagai etnis dan kebangsaan di penduduknya belum dapat disebut kota kosmopolitan dikarenakan masyarakat yang berasal dari beberapa wilayah di dunia yang menempati kota-kota tersebut datang dengan alasan kesejahteraan dan keamanan, dan dikurung di dalam rumah mereka dengan sedikit untuk melakukan kontak dengan orang lain, kecuali di pasar. Ini, tentu saja, berbeda dengan keadaan kota Paris atau New York.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan awal bahwa setiap kegiatan yang berbau kosmopolitan belum tentu dianggap kosmopolit secara menyeluruh. Ketika kosmopolit bercirikan percampuran etnis dalam satu kawasan, tetapi ketika percampuran etnis tersebut tidak dibarengi dengan motivasi untuk saling bertoleransi dan menjunjung perdamaian maka hal itu belum dapat dikategorikan sebagai kosmopolitan. Kemudian nilai perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, tidak dapat secara otomatis dikatakan kosmopolit karena maksud dari perpindahan tersebut pada masing-masing orang berbeda. Ketika yang dimaksudkan adalah perpindahan untuk mencari kerja, mencari keamanan dan standar hidup yang lebih baik, maka hal tersebut dikatakan sangat tidak kosmopolit karena nilai perpindahan kosmopolitan akan muncul saat perpindahan itu didasarkan bukan atas kepentingan pribadi tetapi kepentingan universal secara umum.

Sumber :

”The cosmopolitan perspective: sociology of the second age of modernity, British Journal of Sociology, Vol. 51, No 1, 2000.

”The cosmopolitan society and its enemies”, Theory, Culture & Society, Vol. 19(1-2), 2002.

Rabu, 28 April 2010

Politik Apartheid : Sebuah Kesalahan Kolonial Yang Terwariskan

Membicarakan dinamika negara Afrika Selatan tentu tidak dapat terlepas dari aspek historis negara ini yang pernah mengalami praktek politik rasialis apartheid sejak tahun 1930an ketika Partai Nasional memenangkan pemilihan umum. Sejak saat itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Afrika Selatan cenderung melembagakan hal-hal yang berbau rasial di dalam hampir semua aspek kehidupan rakyatnya. Sebenarnya, praktek-praktek rasialis ini banyak ditemukan juga di negara negara lain di era kolonialisme, salah satunya adalah Indonesia yang ketika VOC berkuasa, terjadi segregasi kelompok ras yang terbagi atas ras pribumi, non-pribumi, dan peranakan. Kebijakan yang dilakukan oleh VOC di Indonesia juga menyangkut aspek-aspek publik seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Namun yang membuat era apartheid Afrika Selatan ini berbeda dengan segregasi dan kebencian rasial yang terjadi di negara-negara lain adalah cara sistematis yang dilakukan oleh Partai Nasional, yang mulai berkuasa pada 1948, dengan memformalkan praktek rasialis ini melalui hukum. Hal ini berbeda dengan praktek-praktek rasial yang dilakukan di negara lain yang hanya dalam tataran peraturan yang tidak tertulis.
Dalam menganalisa kebijakan politik apartheid ini, terdapat perdebatan mengenai akar sejarah darimana sebenarnya apartheid ini berasal. Apakah merupakan warisan kolonialisme ataukah pengelolaan negara pasca kolonial yang disengaja untuk disimpangkan. Menurut penulis, praktek apartheid yang dilakukan oleh Partai Nasional Afrika Selatan lebih merupakan problem warisan pengelolaan era kolonial yang diteruskan ketimbang problem kegagalan pengelolaan pasca kolonial. Statement tersebut akan penulis jabarkan dalam paper ini dengan menganalisis perbandingan data era kolonial dan era pasca kolonial. Kemudian di akhir analisa akan penulis kemukakan kembali statement tersebut sebagai penguat berdasarkan pada data-data yang relevan beserta rujukan pada kasus-kasus besar yang ikut berperan dalam dinamika praktek apartheid ini.

Defining Apartheid (www.merriam-webster.com)
Entri kata: apart•heid
Fungsi: kata benda
Etimologis: merupakan Afrikaans, from apart apart + -heid -hood
1 : segregasi social; secara spesifik diartikan sebagai kebijakan segregasi dan diskriminasi ekonomi politik terhadap kelompok non-eropa di Afrika Selatan.
2 : Separasi, Segregasi.

paper ini menggunakan definisi pertama sebagai bahan rujukan arti kata

Sejarah Panjang Kolonialisme Afrika Selatan
Praktek apartheid di Afrika Selatan sebenarnya telah berakar pada awal era kolonialisme, yakni di abad ke-17, dan terutama setelah industri pertambangan membawa Afrika Selatan sepenuhnya ke dalam orbit kapitalis di abad ke-19. bangsa yang pertama datang ke wilayah Afrika Selatan adalah bangsa Belanda. Mereka datang dengan pola pemikiran Calvinisme fundamentalis yang menolak perkembangan intelektualisme dan rasionalisme di Eropa (Rodney : 1973). Orang-orang ini kemudian menyebut diri mereka sebagai bangsa Boer (Afrikaner) yang kemudian mengembangkan sebuah identitas berbeda dari identitas eropa. Mereka melakukan imigrasi dari Belanda ke Afrika Selatan ketika Inggris menguasai negara tersebut pada Perang Napoleon. Di Afrika Selatan, penduduk Pribumi diperlakukan atas dasar superioritas keagamaan dan rasial dimana nbangsa Boer menganggap bahwa bangsa pribumi tidak lebih dari mereka. Isolasi bangsa Boer dari Inggris ini tidak berlangsung lama karena hanya dalam beberapa dekade, di Afrika Selatan banyak ditemukan tambang emas dan berlian. Perang Boer-pun meletus ketika bangsa Inggris akhirnya datang ke Afrika Selatan dimana Inggris berhasil memenangkan perang atas Boer. Namun meskipun bangsa Boer mengalami kekalahan telak, hal itu tidak menghilangkan identitas spritual mereka sebagai bangsa yang berbeda dari bangsa eropa. Sejak saat itu, kedua negara memerintah bersama-sama mulai tahun 1910 di bawah Uni Afrika Selatan.
Pada dasarnya, peletakan fondasi utama dari praktek apartheid ini dimulai ketika uni afrika selatan ini terbentuk. Meskipun pada awalnya pihak Inggris berharap bahwa kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintahan Uni afrika selatan ini tidak didasarkan atas ras tertentu. Tetapi sayangnya hal tersebut tidak ditindaklanjuti dengan pengawasan ketat karena pemerintahan Inggris lebih tertarik dalam aspek penyatuan negara ini kedalam kerajaannya Inggris. Dalam pandangan Inggris, ketika sebuah wilayah dilihat sebagai entitas “uni”, maka negara tersebut akan mendapatkan lebih banyak kebebasan dari Inggris. Dalam hal ini, berarti bahwa Inggris memberikan kebebasan bagi Afrikaner untuk mengelola uni afrika selatan secara penuh.
Pada Juni 1918 Afrikaner membentuk satu organisasi baru bernama Jong Suid-Afrika (Young Afrika Selatan) yang kemudian berganti nama menjadi Broederbond Afrikaner (AB) satu tahun setelahnya. Organisasi ini memiliki satu tujuan utama yakni untuk membentuk nasionalisme Afrikaner lebih lanjut di Afrika Selatan - untuk mempertahankan budaya Afrikaner, mengembangkan ekonomi Afrikaner, dan untuk mendapatkan kontrol dari pemerintah Afrika Selatan (http://africanhistory.about.com/).
Selama tahun 1930-an Broederbond Afrikaner menjadi semakin berpengaruh dalam bidang politis, yang dapat terlihat dari terbentuknya organisasi-organisasi publik baru terutama Federasie van Afrikaanse Kultuurvereniginge (FAK - Federasi Budaya Masyarakat Afrikaans) yang difungsikan sebagai payung bagi kelompok-kelompok kebudayaan Afrikaner. Pengaruh politik yang besar dari The Broederbond Afrikaner mulai jelas terlihat pada tahun 1934 ketika JBM Hertzog menggabungkan Partai Nasional (NP) dengan Jan Smuts 'Partai Afrika Selatan (SAP), untuk membentuk Partai Serikat (UP). Namun, di dalam Partai Nasional terdapat gerakan pemisahan diri yang berasal dari DF Malan, seorang radikalis yang kemudian membentuk Partai Herenigde Nasionale (HNP - 'Partai Nasional bersatu kembali') dan didukung sepenuhnya oleh The Broederbond Afrikaner .
Ketika pemilihan umum pertama dilakukan, kekuasaan dimenangkan oleh Partai Nasional yang kemudian menerapkan kebijakan apartheid secara terlembaga. Elit Partai Nasional melembagakan praktek apartheid ini sebagai alat untuk mempermudah kontrol mereka dalam aspek ekonomi dan sosial. Sedangkan tujuan dari apartheid ini adalah untuk memelihara dominasi kulit putih yang kemudian berakhir pada pemisahan rasial. Dengan berlakunya undang-undang apartheid tahun 1948, diskriminasi mulai menyentuh setiap aspek kehidupan sosial, termasuk larangan pernikahan antara non-putih dan putih, dan Penetapan pekerjaan''putih” saja.

Kebijakan Apartheid Pasca Kolonialisme
Kebijakan pertama apartheid secara resmi mengatur aspek pernilahan diantara kedua ras. Berdasarkan aturan Prohibition of Mixed Marriages Act, Act No 55 of 1949, pernikahan antara orang kulit hitam dan putih dilarang dan jika dilakukan, maka tidak akan tercatat dalam hukum. Kemudian secara lebih mendalam, Immorality Amendment Act, Act No 21 of 1950; amended in 1957 (Act 23), hubungan dewasa antara kulit hitam dan putih ditetapkan (http://www.africanaencyclopedia.com/).
Dalam aspek kependudukan, Population Registration Act, Act No 30 of 1950 dikeluarkan untuk mendaftar setiap ras masyarakat. Lalu tidak lama setelah itu Group Areas Act, Act No 41 of 1950 dikeluarkan. Kebijakan ini menandakan bahwa akan ada pemisahan wilayah antara ras kulit putih dan ras kulit hitam. Satu tahun setelah kebijakan tersebut dibuat, untuk mengatur sektor sumber daya manusia kulit hitam, dikeluarkanlah Bantu Building Workers Act, Act No 27 of 1951. Berdasarkan kebijakan ini, orang-orang dari kulit hitam dapat dilatih menjadi pekerja bangunan dimana sebelumnya pekerjaan tersebut hanya diperuntukkan bagi orang-orang ras kulit putih. Namun perlu digarisbawahi bahwa pekerjaan tersebut bertempat di wilayah yang ditinggali ras kulit hitam. Jika mereka bekerja pada daerah kulit putih maka hal tersebut dianggap tindakan kriminal. Selanjutnya, dikeluarkan Prevention of Illegal Squatting Act, Act No 52 of 1951 yang memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menghilangkan ras kulit hitam dari tanah – tanah milik publik atau privat untuk selanjutnya ditempatkan pada camp-camp tertentu. Dalam aspek politis, kebijakan apartheid yang dikeuarkan seperti Separate Representation of Voters Act, Act No 46 of 1951 dan amandemennya mengatur bahwa orang-orang ras kulit hitam tidak memiliki hak suara dalam bidang politis.

Analisa
Permasalahan rasisme yang pada awalnya dibawa oleh bangsa Eropa ini sebenarnya jika dikajis ecara lebih mendalam, merupakan elemen yang berakar dari pemikiran Eropa. Fakta sederhananya adalah bahwa tidak ada orang yang dapat memperbudak lain selama berabad-abad tanpa keluar dengan gagasan superioritas, dan ketika dihadapkan pada ciri-ciri fisik dan warna kulit yang memang berbeda, maka tak terelakkan bahwa prasangka harus mengambil bentuk rasis. Di Afrika sendiri, tepatnya di Provinsi Tanjung Afrika Selatan, orang kulit putih telah mempersiapkan superioritas militer dan sosial di non-putih sejak 1650.
Selain fakta kecil tersbut, adanya gerakan anti-Semitisme di Eropa dimana selalu ada unsur kecurigaan dan ketidakpahaman ketika orang-orang dari budaya yang berbeda datang bersama-sama. Namun, dapat ditegaskan bahwa rasisme yang terbentuk di Afrika Selatan maupun kawasan Afrika yang lain ini merupakan bagian integral dari cara produksi kapitalis. Juga bukan hanya pertanyaan tentang bagaimana individu kulit putih memperlakukan individu kulit hitam. Akar dari rasisme Eropa adalah generalisasi dan asumsi yang tidak memiliki dasar ilmiah, tetapi dirasionalisasikan dalam setiap bidang dari teologi ke biologi.
Hal yang keliru pula jika menyatakan bahwa Afrika diperbudak Eropa karena karena alasan rasis. Penduduk pribumi Afrika diperbudak penambang karena alasan ekonomi sehingga tenaga kerja mereka bisa dieksploitasi. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa pada abad ke-19 rasisme kulit putih itu menjadi begitu dilembagakan dalam dunia kapitalis (dan terutama di Amerika Serikat) yang kadang-kadang terlalu memaksimalkan keuntungan sebagai motif untuk menindas orang kulit hitam.
Selalu ada kontradiksi antara elaborasi ide-ide demokrasi di Eropa dan elaborasi dari praktik otoriter oleh Eropa terhadap Afrika. Ketika Revolusi Perancis terjadi atas nama 'kebebasan, Kesetaraan dan Persaudaraan", hal itu tidak meluas ke Afrika diperbudak oleh Prancis di Hindia Barat dan Samudera Hindia. Disini menurut penulis, pemikiran-pemikiran rasisme tersebut pada akhirnya memberikan kontribusi yang sangat besar bagi terlembaganya kebijakan rasialis apartheid terutama di Afrika Selatan.
Apartheid kurang dapat dilihat sebagai kegagalan pengelolaan pasca kolonial karena akar dari budaya apartheid ini selama beberapa abad telah masuk jauh kedalam budaya Afrika juga. Dengan penanganan orang pribumi oleh bangsa Eropa secara tidak sejajar dalam artian bangsa Eropa memposisikan diri secara lebih superior daripada bangsa Afrika, maka hal tersebut secara tidak langsung ikut menentukan pola pikir bangsa Afrika sebagai bangsa yang inferior. Pemosisian secara tidak sadar inilah menurut penulis yang pada akhirnya memperlancar terlembaganya kebijakan apartheid. Sedemikian besar pengaruh penjajahan, sehingga mempengaruhi pola pikir, pola penghayatan hidup serta pola perilaku masyarakat poskolonial. Negara-bangsa yang terbentuk pun seolah mengalami krisis identitas atau krisis percaya diri, tidak memiliki pegangan yang mantap dan jelas sehingga mudah digoyahkan dan diombang-ambingkan oleh relasi ketergantungan.
Jadi dari sini dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah yang menghinggapi Afrika ini lebih merupakan warisan pengelolaan era kolonialisme yang kemudian diawetkan dengan dilembagakannya praktek apartheid di negara Afrika Selatan ketimbang problem kegagalan pengelolaan pasca kolonial. Apartheid tidak dapat dilihat sebagai kegagalan pengelolaan pasca kolonial karena memang pada dasarnya peletak dasar bangunan apartheid ini berasal dari bangsa Barat yang sudah pasti berkepentingan untuk melanggengkan kekuasaannya di afrika.



Daftar pustaka :

Rodney , Walter. (1973). How Europe Underdeveloped Africa. Dar-Es-Salaam : Bogle-L'Ouverture Publications, London and Tanzanian Publishing House
Conan Doyle, Arthur.(1901). The Great Boer War. London: George Bell & Sons.
http://www.merriam-webster.com/dictionary/apartheid
http://www.africanaencyclopedia.com/apartheid/apartheid.html
http://www.southafrica.to/history/Apartheid/apartheid.htm
http://africanhistory.about.com/od/apartheidfaq/Apartheid_FAQ.html

Jumat, 23 April 2010

Dinamika relasi Australia- Amerika Serikat : tantangan aliansi pasca War on Terrorism

Australia adalah negara yang boleh dikatakan sebgai sekutu paling setia AS di dunia setelah Inggris Raya. Australia secara tegas mendukung kebijakan AS sejak Perang Dunia II, hingga Perang Korea, Perang Vietnam, Perang Teluk 1991, dan baru-baru ini perang di Afghanistan dan Irak. AS Serikat telah menjadi faktor penting dalam kebijakan pertahanan Australia selama lebih dari 60 tahun dengan pemberian jaminan keamanan yang kuat untuk Australia, termasuk penangkal nuklir yang diperluas. Postur pertahanan Australia diperkuat dengan akses ke intelijen AS, selain itu, bidang pendidikan, senjata dan militer juga mendapatkan perhatian dari AS. Namun, untuk pertama kalinya sejak Perang Vietnam, muncul perdebatan di Australia mengenai apa yang sebenarnya AS harapkan dari aliansi kedua Negara dan tentang arti kekuasaan AS di era kontemporer bagi Australia. Jurnal kali ini membahas dinamika hubungan Australia-AS dengan menganalisis kekuatan hubungan tersebut, hambatan yang muncul dan bagaimana prospek hubungan di masa depan.

Sebuah aliansi bukan hanya merupakan produk dari perhitungan rasional kepentingan nasional. Namun juga melibatkan nilai-nilai bersama, sistem kepercayaan, dan sejarah kerja sama. Australia dan AS telah lama berbagi nilai-nilai demokrasi dan keyakinan. Australia dan AS berbagi penggunaan bahasa Inggris dan keduanya merupakan negara berukuran besar bekas koloni Kerajaan Inggris. Namun terdapat perbedaan penting dilihat dari aspek sejarah dan geografi. Pengalaman sejarah AS tercermin dari warisan religius dan pengalaman dari ideologi liberal klasik yang dapat dilihat dalam Deklarasi Kemerdekaan AS Serikat dan Konstitusi. Agama dan liberalisme klasik, secara bersamaan membentuk aspek-aspek budaya politik AS. Sementara itu, nation building di Australia dibentuk oleh budaya keras warisan narapidana, kekeringan, dan perasaan inferior menciptakan pola pikir yang skeptis, sinis dan penuh kecurigaan. Agama tidak memainkan peran penting dalam politik Australia dan di Australia rasa nasionalisme tidak begitu kuat seperti yang dilakukan oleh AS. Maka, kedepannya, bukan hal yang patut dipertanyakan lagi alasan kedekatan Australia dengan negara-negara besar seperti Kerajaan Inggris di masa pasca perang dunia dan Amerika Serikat pasca perang dunia II.

Ikatan yang menghubungkan kedua negara mencakup seluruh spektrum hubungan internasional - dari sektor perdagangan, ekonomi, budaya, lingkungan politik dan kontak kerjasama pertahanan. Perdagangan dua arah mencapai hampir $ 26 miliar pada tahun 2006 dan terhitung lebih dari 459.700 orang Amerika mengunjungi Australia pada tahun 2007. Pada bulan September 2007, Amerika Serikat dan Australia menandatangani perjanjian pertukaran pelajar dan program ekskursi untuk pertama kalinya. Persahabatan yang kuat tersebut diperkuat oleh berbagai kepentingan umum dan pandangan yang sama pada kebanyakan isu-isu internasional. Pemerintah Australia dan pihak oposisinya bahkan sepakat bahwa keamanan Australia tergantung pada hubungan dengan Amerika Serikat. Kedekatan aliansi kedua negara terlihat pula dari kunjungan presiden AS ke Australia (pada tahun 1991, 1996, 2003, dan 2007), seorang Wakil Presiden berkunjung pada Februari 2007, dan Perdana Menteri Australia melakukan kunjungan ke Amerika Serikat setiap tahun sejak 1995 hingga tahun ini.

Terdapat beberapa perjanjian bilateral maupun multilateral yang disepakati oleh kedua negara. Seperti Australia-U.S. Free Trade Area (AUSFTA) dan ANZUS yang disepakati bersama New Zealand. Secara substansial, kesepakatan ini cukup komprehensif mencakup hubungan perdagangan, pertahanan dan investasi. AUSFTA juga menciptakan berbagai kelompok kerja berkelanjutan dan komite yang dirancang untuk mengeksplorasi lebih lanjut reformasi perdagangan dalam konteks bilateral. Dalam perjanjian multilateral, keduanya bekerja sama dengan sangat erat di World Trade Organization (WTO), dan keduanya juga merupakan anggota aktif di forum Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). Sejumlah lembaga AS juga secara aktif melakukan kegiatan ilmiah di Australia. Pada tahun 2005, perjanjian bilateral tentang iptek diperbarui. US National Aeronautics and Space Administration (NASA) menyatakan bahwa Australia merupakan wilayah yang penting karena sejumlah fasilitas pelacakan vital program luar angkasa AS terletak di negara ini. Pada tahun 2001, AS dan Australia menandatangani perjanjian pajak baru dan perjanjian jaminan sosial.

Setidaknya terdapat dua poin penting yang menunjukkan kelemahan hubungan aliansi AS dan Australia. Pertama, dalam mendukung kebijakan WoT AS, Australia telah mengeluarkan banyak dana untuk menyediakan pasukan tempur di Afghanistan dan Irak dan untuk mengembangkan kemampuan kontraterorisme. Hambatannya muncul ketika AS membuat tuntutan politis mengenai perang terorisme terutama di negara-negara Asia Tenggara yang dianggap pusat terorisme di Asia yang secara geografis berbatasan dengan Australia. Kedua, Angkatan Pertahanan Australia yang relatif kecil hanya sekitar 52.000 pasukan secara total dan 20.000 cadangan dihadapkan dengan berbagai kebijakan perang AS menyebabkan sektor pertahanan Australia memiliki beban yang lebih berat. Hal ini terlihat saat Perang Irak terjadi, Australia mengirim 2.200 pasukan, termasuk pasukan khusus dan komando, pesawat tempur dan pengawasan elektronik pesawat terbang, kapal perang permukaan, dan izin penyelam. Namun, ditengah-tengah upaya pertempuran tersebut, mereka ditarik kembali untuk dikirim ke Kepulauan Solomon di Pasifik Selatan.

Hal yang perlu ditilik lebih jauh adalah apakah masyarakat Australia sendiri setuju dengan kebijakan yang sangat “Amerika” tersebut. Sebuah survey yang dilakukan oleh The Lowy Institute Poll 2005 menunjukkan bahwa sebenarnya 68 persen rakyat Australia menganggap bahwa negara mereka terlalu memperhatikan pandangan dari AS dalam kebijakan luar negerinya, dengan 32 persen mengatakan bahwa mereka sangat khawatir tentang kebijakan luar negeri AS dan 25 persen menjadi cukup khawatir. Meskipun demikian, 58 persen warga Australia memiliki perasaan positif tentang AS Serikat, dengan 39 persen menjadi negatif.

Menurut penulis, hubungan yang terjalin pada dua negara ini setidaknya benar-benar merupakan bentuk aliansi yang cukup solid. Hal ini telah disepakati oleh sebagian besar pengamat hubungan internasional khususnya yang mendalami dinamika aliansi Australia-AS. Hubungan yang terjalin ini diprediksi akan tetap lancar hingga dalam esainya mengenai prospek hubungan AS-Australia, David Mosler menyebutkan bahwa ada kemungkinan Australia akan menjadi negara bagian AS yang ke 51. Prediksi ini sebenarnya menunjukkan secara tidak langsung adanya perasaan inferior Asutralia pada AS sehingga kemungkinan yang ada menunjukkan bahwa Australia menjadi “bawahan” AS. Terlebih lagi mengingat kesetiaan yang cukup tinggi yang ditunjukkan Australia lewat keikutsertaannya dalam setiap perang AS, maka Australia merupakan basis aliansi AS yang sangat penting di wilayah Asia Pasifik. Masyarakatnya yang berpendidikan dan berideologi barat ikut mempermudah pemeliharaan aliansi tersebut.


Daftar pustaka :
Paul Dibb et al.2004. "Understanding Goliath: on the sources of American conduct," The Australian Financial Review.
Rothstein, Robert L. 1968. Alliances and Small Powers.New York: Columbia University Press.
.
The Lowy Institute Poll 2005 (Sydney: Lowy Institute for International Policy, March 28, 2005.
Barnett, Thomas P.M. 2004. The Pentagon's New Map.New York: G.P. Putnam's Sons.
Blumenthal, Dan. 2005. "Alliance takes diverse China roles," The Australian.
Hathaway, Robert M. 2005. "George Bush's Unfinished Asian Agenda," Foreign Policy Research Institute, diakses pada

Mengenal Budaya, Mayarakat dan Ekonomi Selandia Baru

Selama 80 miliar tahun sebelum ditemukan oleh bangsa Polinesia, Selandia Baru adalah kepulauan yang tidak berpenghuni. Tidak ada manusia yang menduduki pulau ini hingga bangsa polinesia datang pada tahun 300 masehi dan migrasi kemudian terjadi hingga abad ke 13. Bangsa polinesia inilah yang kemudian dikenal dengan bangsa Maori. Pada tahun 1769, Bangsa Eropa menemukan daerah ini dan satu abad setelahnya, imigran mulai marak berdatangan dari benua tersebut. Dalam prosesnya, keberadaan imigran Inggris seringkali memunculkan konflik dengan bangsa Maori.

Isu bahwa Prancis saat itu dicurigai akan melakukan aneksasi terhadap pulau ini menjadi perhatian utama bangsa Inggris. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, Perwakilan Ratu Inggris melakukan perjanjian politis untuk membentuk pemerintahans negara dengan kepala suku – kepala suku Maori pada tahun 1940an. Perjanjian ini dikenal dengan sebutan perjanjian Waitangi, sebuah tempat dimana perjanjian tersebut ditandatangani. Meskipun isi perjanjian ini berupa prinsip-prinsip pemerintahan, namun perjajian ini tidak dimasudkan sebagai konstitusi, tetapi isinya lebih condong kepada kerjasama untuk mendirikan sebuah negara bangsa dan membangun pemerintahan di Selandia Baru. Perjanjian ini terdiri dari dua versi, yakni versi bahasa Inggris dan Maori. Dalam versi Inggris, perjanjian ini menjanjikan adanya perlindungan hak kepemilkan tanah dan pemerintahan baik bagi suku Maori maupun imigran (disebut Pakeha); Ratu suku Maori memberikan hak ekslusif bagi Inggris untuk membeli tanah mereka dengan imbalan penjaminan penuh kepemilikan tanah mereka (termasuk hutan, perikanan dan harta benda lain).

Perjanjian versi maori dibuat untuk menyampaikan makna dari versi bahasa Inggris, tetapi ada perbedaan penting. Yang paling signifikan adalah mengenai penerjmahan kata “kedaulatan”. Dalam versi Maori, kedaulatan diartikan sebagai “kawanatanga” (pemerintahan). 1940an Suku Maori dan bangsa Eropa menandatangani Perjanjian Waitangi. Pada prakteknya, perjanjian ini sering meinmbulkan perselisihan dan bahkan sempat terjadi perang yang berkepanjangan (Perang Taranaki /1860,1865-69; Waikato/1863; East Coast/1868-72) antara pedatang dan bangsa Maori. Sayangnya perang ini dimenangkan oleh Pakeha dan sejak saat itu Selandia Baru berada di bawah pemerintahan Kerajaan Inggris.

Setelah abad ke 19 konflik di Selandia Baru mulai mereda dan lebih tenang. Pada tahun 1907, Inggris menetapkan Selandia Baru sebagai bagian dari New South Wales, Australia dan kemudian secara bertahap memberikan otonnomi daerah pada tahun 1931 dan kemerdekaan pada tahun 1947. Sebagai negara yang besar di kawasan Pasifik, Selandia Baru dipercaya oleh Inggris untuk mengurusi negara-negara koloni Inggris seperti Cook Island, Nieu dan Tokelau. Sementara itu, arus pendatang ke Selandia Baru masih terus berlanjut tetapi tidak didominasi lagi oleh bangsa Eropa. Bangsa Asia terutama China dan Jepang yang perekonomiannya mulai naik juga marak menjadi imigran Selandia Baru. Menurut sensus tahun 2001, diketahui bahwa komposisi penduduk Selandia Baru sebagai berikut : bangsa Eropa 69.8%, Maori 7.9%, Asia 5.7%, Pacific islander 4.4%, lainnya 0.5%, campuran 7.8%, unspecified 3.8%. Kedepannya diperkirakan jumlah penduduk dari kalangan campuran ras akan semakin meningkat dengan alasan telah terjadi asimilasi ras yang ada di Selandia Baru. Para pendatang dalam era kontempore lebih dikenal dengan sebutan New Zeelanders daripada Pakeha. Sebagian besar dari mereka hidup di bagian utara North Island. Sementara suku Maori lebih cendrung untuk tinggal di pinggiran karena alasan ekonomi.

Bagsa Eropa yang menjadi bangsa mayoritas di Selandia Baru ikut mempengaruhi perkembangan aspek-aspek kebudayaan di negara tersebut. Agama menjadi salah satu aspek yang iktu dipegaruhi. Terbukti lebih dari separuh penduduk Selandia Baru beragama Kristen, dengan susunan sebagai berikut : Anglican 14.9%, Roman Catholic 12.4%, Presbyterian 10.9%, Methodist 2.9%, Pentecostal 1.7%, Baptist 1.3%, other Christian 9.4%, other 3.3%, unspecified 17.2%, none 26% (sensus 2000). Tetapi, meskipun begitu, nilai-nilai budaya Maori masih tetap berusaha untuk dipertahankan. Bahkan bahasa Maori merupakan bahasa resmi kedua setelah bahasa Inggris. Hal ini menujukkan bahwa bangsa Maori masih memiliki daya pengaruh bagi berjalannya roda pemerintahan. Tidak seperti suku Aborigin yang sangat terdiskriminasi dan dipinggirkan di Australia. Bangsa Maori juga lebih beruntung karena pemerintah membentuk kementrian dalam kabinetnya untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan isu ke-Maori-an (Menteri Dalam Negeri Maori).

Dinamika yang terjadi pada abad ke-20 merupakan dinamika perkembangan Selandia Baru menuju negara yang makmur. Sejak Perang Dunia II, perekonomian Selandia Baru didasarkan pada sektor agrikultur dan peternakan. Tahun 1950 hingga 1960an, Selandia Baru berhasil mencapai full employment. GDP naik 4 persen dan harga produk agrikultur (terutama Wool) naik seiring dengan terjadinya perang Korea. Tahun –tahun berikutnya hingga tahun 1980an, akses ekspor agrikultur lebih sulit karena kenaikan harga minyak dunia menyebabkan kenaikan pinjaman Luar Negeri dan diberlakukannya kebijakan ekonomi protektif. Selain itu, bergabungnya Inggris kedalam Masyarakat Ekonomi Eropa semakin mempersempit pasar ekspor. Untuk mengatasi masalah tersebut, pada tahun 1984, dikeluarkan kebijakan reformasi ekonomi dan deregulasi pasar.

Kebijakan ini secara signifikan berhasil memperbaiki neraca ekonomi Selandia Baru. Pada tahun 1994, GDP tahunan rata-rata naik 6.8%. Secara garis besar, perekonomian Selandia Baru umumnya dipengaruhi oleh dinamika ekonomi internasional terutama sejak dikeluarkannya kebijakan deregulasi pasar tahun 1980an. Partner ekspor yang pada awalnya didominasi oleh Inggris berubah perlahan-lahan menjadi Australia 23.1%, US 10.1%, Jepang 8.4%, dan China 5.8% (2008). Sementara itu, partner impor terbesar masing-masing Australia 18.1%, China 13.2%, US 9.5%, Jepang 8.3%, Singapura 4.7%, Malaysia 4.4%, Jerman 4.3% (2008).

Kesimpulan :
Selandia Baru merupakan negara yang cukup bijak dibandingkan dengan negara tetangganya, Australia, dalam menyikapi masalah penduduk asli. Bahkan nilai-nilai kebudayaan setempat masih tetap dipertahankan dalam perjanjian Waitangi yang masih berlaku hingga saat ini, meskipun dalam pelaksanaannya sering terjadi kesalahpahaman antara keduabelah pihak. Meskipun Maori adalah suku pendatang, namun kehadirannya dianggap sebagai tangata whenua (suku pemilik tanah Selandia Baru). Menurt saya, di era modern sekarang ini, pengaruh Inggris dalam hal kultur scara kuas tergantikan oleh kultur populer Amerika. Masyarakat Asia dan Pasifik juga mempengaruhi kultur setempat.


Sumber :

Natural Character: Concept Development in New Zealand Planning Law and Policy dalam Ministry for the Environment (1988), People,Environment, and Decision Making: the Government.s Proposals for Resource Management Law Reform, Ministry for the Environment, December 1988.
NEW ZEALAND Economic and Fiancial Overview 2009 dalam www.treasury.govt.nz. (diakses pada 23 november 2009)
T2003/231 : Conflict in Iraq: Economic Implications for New Zealand, Treasury Report dalam www.treasury.govt.nz. (diakses pada 23 november 2009)
http://www.stats.govt.nz/browse_for_stats/work_income_and_spending/Employment/LinkedEmployer-EmployeeData_MRSep08qtr.aspx (diakses pada 23 november 2009)
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/nz.html (diakses pada 23 november 2009)
http://www.treasury.govt.nz/economy/overview/2009 (diakses pada 23 november 2009)
http://www.selandiabaru.net (diakses pada 23 november 2009)

Kekuatan - Kekuatan Ekonomi Selandia Baru

Selandia Baru merupakan salah satu dari sedikit negara yang berhasil mengembangkan sector unggulannya dalam bidang agrikultur dan peternakan dalam meraih kemakmuran nasionalnya. Meskipun negara ini sempat mengalami stagnasi pada dekade 50-60an karena bergabungnya Inggris sebagai mitra impor terbesar kedalam Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), Selandia Baru membuktikan bahwa dengan memaksimalkan produksi dan kebijakan deregulasi pasar, negara ini berhasil mencapai posisi sebagai salah satu negara termakmur di dunia. Untuk lebih memahami kondisi perekonomian negara ini, jurnal kali ini akan membahas dinamika perekonomian Selandia Baru dengan titik focus pada sejarah perekonomian dan kebijakan – kebijakan yang diambil hingga perkembangan perekonomian kontemporer.

Economic Outlook
• GDP (2008) : U.S. $127 milyar (NZ $177.5).
• Pendapatan Per Kapita : U.S. $29,855.
• Nilai Tukar : U.S. $1 = NZ $1.388 (U.S. $0.72 = NZ $1).
• Sumber Daya Alam : Timah, gas alam, bijih besi, batu bara.
• Partner ekspor : Australia 23.1%, US 10.1%, Jepang 8.4%, China 5.8%.
• Partner impor : Australia 18.1%, China 13.2%, US 9.5%, Jepang 8.3%,
• Produk : dairy products, daging, produk hutan, industri

Dinamika Ekonomi
Sejak Selandia Baru terlibat dalam Perang Dunia II, negara ini telah secara serius mengembangkan agrikultur sebagai basis dari kehidupan perekonomiannya. Pada tahun 1950 hingga 1960an, Selandia Baru berhasil mencapai full employment. GDP naik 4 persen dan harga produk agrikultur (terutama Wool) naik seiring dengan pecahnya perang Korea. Tetapi, dalam periode ini, perekonomian Selandia Baru dilain pihak juga memperlihatkan tanda-tanda kemunduran. Pada tahun 1962, Kementerian Ekonomi dan Moneter menyatakan bahwa ekonomi Selandia Baru berada dalam tingkat produktivitas dan perdagangan yang sangat rendah. Bahkan periode ini merupakan periode terburuk bagi perekonomian Selandia Baru. Akhir decade 60an, Selandia Baru dihadapkan pada permasalahan ketidakseimbangan BoP. Pemerintah menetapkan kebijakan ekonomi protektif untuk menjaga standar hidup tinggi masyarakatnya ditengah pinjaman luar negeri yang terus membengkak. Permasalahan ekonomi tersebut mencapai puncaknya pada decade 1970an. Saat itu, akses pasar ekspor menjadi sangat sulit karena pangsa pasar terbesarnya, yaitu Inggris telah bergabung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa, Selain itu, kenaikan harga minyak dunia pada 1973 dan 1974 secara bersamaan berperan dalam jatuhnya pendapatan nasional dari kegiatan ekspor.

Sebagaimana yang sewajarnya dilakukan oleh negara-negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD ), kebijakan ekonomi Selandia Baru secara mendasar ditujukan untuk memelihara aktivitas ekonomi tingkat tinggi dan full employment. Proteksi yang terlalu ketat pada industri domestic secara luas turut serta menurunkan tingkat kompetisi dan kemampuan ekonomi untuk beradaptasi dengan dinamika ekonomi internasional. Untuk mengatasi masalah tersebut, pada tahun 1984, dikeluarkan kebijakan reformasi ekonomi dan deregulasi pasar. Di level makro ekonomi, kebijakan ditujukan untuk meraih angka inflasi rendah. Sedangkan reformasi level mikro ekonomi, posisi fiscal menjadi penekanan dalam kebijakan-kebijakannya. Reformasi ekonomi ini meliputi pemberlakuan floating exchange rate, pengurangan kontrol pada pergerakan capital dan harga, penghentian industry assistance, deregulasi ekonomi, korporasi, privatisasi dan legislasi buruh. Legislasi buruh ini ditujukan untuk menyediakan pola gaji yang lebih fleksibel.

Kebijakan reformasi ini berhasil membawa angin segar bagi performa perekonomian nasional Selandia Baru. Dimulai pada tahun 1991, ekonomi mulai tumbuh dan puncaknya pada 1993 sampai tahun 1996, GDP tahunan secara pasti meningkat 6.8%. Perkembangan selanjutnya tidak menunjukkan fluktuasi yang tinggi seperti di tahun-tahun sebelumnya. Krisis 1997 dan 2008 tidak terlalu menganggu aktivitas perekonomian negara ini. GDP bergerak pada level 3.5%, 4.5% hingga 5.2%, kecuali pada tahun 2006, sempat terjadi penurunan GDP hingga 9.3% .

Perkembangan ekonomi kontemporer Selandia Baru ditandai dengan masa kekeringan pada 2007/2008 dan kenaikan harga minyak dunia yang mengakibatkan menurunnya produktivitas hasil peternakan dan agrikultur. Pertumbuhan ekonomi bergerak dalam level 0.3%, 0.4% hingga 1.7%. Secara garis besar, perekonomian Selandia Baru masa ini lebih dipengaruhi oleh dinamika ekonomi internasional terutama sejak dikeluarkannya kebijakan deregulasi pasar tahun 1980an. Namun, relasi ekonomi yang kuat antara Australia dan Selandia Baru menyebabkan arus perdagangan didominasi oleh hubungan ini. Selandia Baru dan Australia terlibat dalam kerjasama "Closer Economic Relations" (CER), dimana perdagangan bebas diberlakukan bagi keduanya.

Sejak 1990, CER menciptakan pasar tunggal bagi 22 juta orang dan ini merupakan kesempatan baru bagi eksporter Selandia Baru. Saat ini Australia merupakan tujuan dari 25% ekspor Selandia Baru, dibandingkan dengan 14% di tahun 1983. Disamping itu, Selandia Baru juga melakukan perjanjian perdagangan bebas dengan Singapura sejak tahun 2001. Pada bulan juli 2005, keduanya Sepakat membentuk Trans-Pacific Strategic Economic Partnership (TPP) dengan Chili dan Brunai Darussalam. Kemudian pada 22 september 2008, Amerika Serikat bergabung dalam TPP. Tahun 2005, Selandia Baru menjajaki kesepakatan perdagangan bebas dengan Thailand. Dua tahun setelah itu, Selandia Baru menandatangani kerjasama perdagangan bebas dengan China dan membentuk the Gulf Cooperation Council (GCC), kesepakatan kerjasama dengan negara-negara teluk (Saudi Arabia, Kuwait, Bahrain, Qatar, the United Arab Emirates, dan Oman). Negara ini juga menyepakati perjanjian ekonomi bilateral dengan Korea Selatan dan Jepang.

Kesimpulan dan Analisis

Keberhasilan Selandia Baru dalam meningkatkan strata ekonominya dalam hubungan internasional tidak lepas dari peranan pemerintah dan masyarakatnya. Terletak pada jalur strategis perdagangan dunia dengan potensi sumber daya manusia dan alam yang menjanjikan membuat negara ini secara mendasar siap untuk berkompetisi. Selain itu, citra sebagai negara pelopor perdagangan bebas semakin meningkatkan posisi tawar Selandia Baru dalam aspek ekonomi.

GDP Selandia Baru yang besar didukung oleh situasi pemerintahan yang sangat stabil sejak awal abad 19 memberikan negara ini kesempatan lebih besar dalam upaya meningkatkan kemakmuran masyarakatnya. Namun selain yang telah penulis jelaskan diatas, tampaknya kehadiran Partai Buruh yang mendominasi lingkungan pemerintahan juga ikut berperan bagi terjaminnya kesejahteraan di negara ini. Keberhasilan partai buruh dalam menanamkan dasar pemerintahan yang hirau pada isu-isu sosial termasuk jaminan sosial yang cukup komprehensif, program pekerjaan umum, upah dasar minimum, dan 40 jam pekan kerja merupakan titik awal pencapaian ekonomi hingga saat ini. Keberhasilan Selandia Baru ini dapat menjadi pelajaran bagi negara lain bahwa stabilitas internal (politik dan sosial) adalah hal yang mutlak diperlukan jika mereka menginginkan peningkatan dalam aspek ekonomi.

Souces :
NEW ZEALAND Economic and Fiancial Overview 2009 dalam www.treasury.govt.nz. (diakses pada 23 november 2009)
http://www.stats.govt.nz/browse_for_stats/work_income_and_spending/Employment/LinkedEmployer-EmployeeData_MRSep08qtr.aspx (diakses pada 23 november 2009)
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/nz.html (diakses pada 23 november 2009)
http://www.selandiabaru.net (diakses pada 23 november 2009)
OECD Country Website. http://www.oecd.org/countries/0,3351,en_33873108_33844430.html (diakses pada 4 desember 2009)

Significance of WTO in the Case of Indonesia-South Korea’s : Dumping on Paper Product

WTO is the world trade organization that serves to regulate and facilitate international trade. The main objective of the WTO is to create healthy competition in the field of international trade for its members. While philosophically the WTO objectives is to improve living conditions and income, ensuring the creation of employment opportunities, increasing production and trade as well as optimize the utilization of world resources. WTO's main function is as a forum for its members to conduct trade negotiations as well as documenting all the results of negotiations and rules of international trade. WTO came into effect on January 1, 1995 agreed that the Agreement in the World Trade Organization agreement on the establishment of the World Trade Organization, signed the trade ministers of WTO member countries on 15 April 1994 in Marrakesh, Morocco. At that moment, the member of WTO reached 143 countries plus the 31 countries that are currently in the process of negotiations (accession) for entry into the WTO members.

By signing and ratifying the WTO, each member state has the legal right not to be treated with discrimination by other WTO members of both treatments in the field of tariff, non tariff and national treatment (national treatment). Beside that WTO member countries, particularly developing countries have the right to fight for their rights, for example through the WTO dispute settlement and blaming other countries policies that are considered detrimental to the interests of developing countries in various relevant forums in the WTO.Various WTO agreements can be used by developing countries to protect the interests of negrinya (in general domestic industry) of which proved to import an element of "unfair". Another important advantage is that the developing countries in shaping the international trade negotiations of the future that had so dominated countries. It is not possible if the developing countries are not in the WTO system.

There are 5 (five) basic principles of GATT / WTO, namely:

i. Equal treatment for all members (Most Favored Nations Treatment-MFN).
Article I of GATT 1994 requires all commitment made or signed within the framework of GATT, the WHO should be treated equally to all WTO member countries (non-discrimination principle) without conditions. For example a country is not allowed to impose different tariff rates to a country compared with other countries.

ii. Binding Tariff (Tariff bindings)
Article II of GATT 1994, each member country of GATT or the WTO should have a list of products that the level of import duty or tariff must be bound (legally bound). Binding of the tariff is intended to create the "predictability" in the business of international trade / exports. This means that a member state not allowed to arbitrarily alter or raise the level of tariffs

iii. National treatment (National treatment)
Article III of GATT 1994, a country is not allowed to treat the discrimination between imported products with domestic products (same product) for the purpose of protection. The types of actions prohibited under this provision, among others, charges in the country, the laws, regulations and requirements affecting the sale, offer for sale, purchase, transportation, distribution or use of products, regulation of the amount that requires a mixture, processing or use of the product domestic products.

iv. Only through tariff protection.
Article XI the protection of domestic industries through tariffs only permitted.

v. Special and differential treatment for developing countries

In this journal, I’d like to give a deeper information about WTO in a case study about the practice of dumping charges from Indonesia to South Korea. Indonesia as a country also a member of the WTO, have experienced the practice of dumping charges on paper products exported to South Korea. This case began when the South Korean paper industry filed anti-dumping petition against Indonesian paper products to the Korean Trade Commission (KTC) on September 30, 2002. The Indonesian paper products that was charged with dumping include 16 types of products, classified in groups uncoated paper and paper board used for writing, printing or other graphic purpose, and carbon paper, self-copy paper and other copying or transfer paper.
In the case of the alleged dumping of paper by South Korea to Indonesia in the company of paper products such exporter PT. Indah Kiat Pulp and Paper Tbk, PT. Pindo Deli Pulp and Mills, and PT. Paper Factory Tjiwi Kimia Tbk, and April Pine Paper Trading Pte. Ltd., Indonesia managed to win the anti-dumping disputes this. Indonesia has used its rights and usefulness of the mechanisms and principles of the WTO trading system of multilateralism, especially the principle of transparency.
Indonesia for the first time benefit from the dispute settlement mechanism or the Dispute Settlement Mechanism (DSM) as the main plaintiff (main complainant) who was injured on the application of trading rules applied by other WTO member countries. Indonesia objected to the enactment of anti-dumping policy to Korea in case of DSM Anti-Dumping Duties on Imports of Certain Paper from Indonesia.

On June 4, 2004, Indonesia took South Korea to make dispute settlement consultations on the imposition of anti-dumping measures South Korea against imports of paper products from Indonesia. The results of these consultations did not produce a satisfactory result for both parties. Indonesia then filed a request to the WTO DSB to South Korea revoke the anti-dumping actions in violation of its obligations in the WTO, and violates several articles of the Anti-Dumping provisions. On October 28, 2005, the WTO DSB Panel Report delivered to all members and stated that anti-dumping measures South Korea has been inconsistent and violates the provisions of the Anti-Dumping Agreement. Both parties eventually reached an agreement that Korea should implement the DSB recommendations and determine the timetable for the implementation of the DSB recommendations (reasonable period of time / Rpt).
Unfortunately until now South Korea has not also comply with DSB's decision, although it has expressed any import duties apply anti-dumping (BMAD) of paper products from Indonesia, because it has not revoked the imposition of import duties are the anti-dumping. WTO DSB has declared South Korea made a mistake in the procedure of paper anti-dumping investigations in Indonesia in 2003. For the DSB request that South Korea's decision to run this soon.

Sources :
P. Karns, Margareth. 2004. International Organizations : the Politics of Global Governance. USA : Lynne Rienner Publisher, Inc

Level of Analysis : Dilema reduksionis dan behavioralis dalam Penelitian. studi kasus Peran Australia Dalam Penanganan Pemberontakan Bougenville PNG

Dalam melakukan penelitian, khususnya dalam bidang kajian Hubungan Internasional, diperlukan suatu fokus pada tingkat analisis agar hasil yang diperoleh lebih tangible, terarah dan teruji. David Singer mengemukakan bahwa ada beberapa cara bagaimana suatu fenomena yang diteliti direduksi dan diatur dalam suatu penelitian (Singer, 1961:1). Dalam proses penelitiannya, tidak mungkin seorang peneliti dapat meneliti keseluruhan sistem, melainkan memilih satu bagian atau beberapa bagian sebagai fokus penelitian dalam sistem tersebut untuk diteliti. Inilah yang kemudian disebut level analisis.

Tingkat analisis sendiri sering disebut juga sebagai level analisis yang terdiri dari level individual, negara (unit) dan level internasional (Waltz: 1959). Menurut Kenneth Waltz, level analisis individu lebih menganggap bahwa fenomena HI pada akhirnya adalah akibat dari perilaku individu-individu yang berinteraksi didalamnya. Dalam memahami fenomena HI, level anlisis individu lebih menelaah sikap dan perilaku tokoh utama suatu negara, seperti kepala pemerintahan, menteri luar negeri dan aktor individu kunci lainnya. Sedangkan pada level negara, mengasumsikan bahwa hubungan internasional pada dasarnya didominasi oleh perilaku negara bangsa. Disini, perilaku individu hanya akan diperhatikan sejauh perilaku mereka berkaitan dengan tindakan internasional negara yang bersangkutan. Jadi, level ini menganggap bahwa keputusan tentang hubungan internasional yaitu politik luar negeri oleh suatu negara harus dipahami secara utuh. Level analisis internasional memandang bahwa negara-negara di dunia ini dan interkasi mereka didalamnya sebagai suatu sistem. Struktur sistem yang telah terbentuk pada akhirnya menentukan perilaku dari aktor-aktor hubungan internasional yang terlibat didalamnya. Menurut level ini, sistem harus benarbenar dipahami dan selanjutnya membuat generalisasi yang tepat tentang sistem tersebut sebagai suatu keseluruhan.

Lebih jauh lagi, Valerie Hudson mengemukakan beberapa level analisis dalam kajian proses pengambilan keputusan dalam beberapa level yaitu (1)level analisis individual, (2)group decision-making, domestic politics and opposition, (3)cultural and national identity, (4)national attribute and international system. Menurut Hudson, dalam level analisis individu, tidak setiap saat karakter psikoligis seorang pemimpin dapat dijadikan determinan utama dalam pembuatan kebijakan. Terdapat kelompok-kelompok yang ikut mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan tersebut, misalnya kelompok kepentingan, kelompok militer dsb. Kultur, identitas nasional, politik domestik dan oposisi juga merupakan salah satu pijakan dalam pengambilan keputusan suatu kebijakan. Level analisis Hudson yang terakhir yaitu level analisa national attributes merupakan power yang dimiliki oleh suatu negara yang mempengaruhi interaksinya terhadap negara lain.

Sejak saat perang dingin berakhir hingga saat ini, kecenderungan yang terjadi dalam sebagian besar penelitian kajian Hubungan Internasional, level analisis negara menjadi level analisis yang lebih populer dibandingkan yang lainnya. Hal ini dapat dimengerti sebagai suatu bentuk respon peneliti terhadap kemunculan negara-negara baru paska perang dingin dimana jumlah negara bertambah tiga kali lipat dari sekitar 50an pada masa perang dunia menjadi 150an saat perang dingin berakhir. Sedangkan jika dianalisis, penggunaan level analisis dari perspektif relativisme dan rekonsiliasionis maka level analisis ini dapat dijelaskan penggunaannya berdasarkan cara mengintepretasikan realita social masing-masing. Realita atau fakta social yang dipandang secara berbeda bergantung pada sudut pandang dan pengalaman peneliti menyebabkan pandangan relativis mengenai signifikansi level analisis tidak begitu penting. Hal ini juga berangkat dari setiap aspek kehidupan yang dianggap memiliki tingkat kebenaran yang relatif sesuai dengan cara penafsiran fakta sosial tersebut. Maka dari itu, pemaknaan suatu realita menjadi bersifat individual, tidak lagi berdasarkan pada tiga level analisis yang dikenal dalam studi hubungan internasional. Begitupun menurut kaum rekonsiliasionis, yang cenderung lebih fleksibel dalam menentukan perspektif dalam sebuah penelitian. Jadi adanya atau ketiadaan level analisis dalam penelitian kurang begitu berpengaruh dalam penelitian yang dilakukan kaum rekonsiliasionis.

Penggunaan level analysis dalam penelitian HI ini sendiri sebenarnya telah lama nengundang perdebatan. Permasalahan yang diperdebatkan sebenarnya berakar dari isu-isu yang coba diangkat dalam penelitian itu sendiri. Biasanya, level analisis digunakan dalam topik-topik high politics yang lebih mudah diukur dan dianalisis dari level tertentu. Topik high politics mencakup pembahasan mengenai aksi-reaksi suatu negara maupun interaksi antar negara dalam politik internasional. Hal ini terlihat pada level analisis yang dikemukakan oleh akademisi-akademisi HI, seperti: Rosenau, Coplin, Waltz, Singer, maupun Hudson yang kesemuanya berada dalam tataran analisis interaksi antar negara. Namun, perkembangan kontemporer yang menunjukkan pergeseran topik dari high politics menjadi low politics menjadikan penentuan level analisis menjadi lebih sulit. Topik-topik seperti pembahasan human security dan enviromental damage seperti yang dikemukakan oleh Barry Buzan, hal itu justru akan mendistorsi fenomena tersebut. Level analisis mungkin malah mereduksi kompleksitas fenomena tersebut, seperti siapa sajakah yang terlibat dan mengapa itu terjadi. Fenomena sosial yang kompleks tidak dapat direduksi dan diteliti menggunakan satu level analisis saja. Jadi menurut penulis, level analisis sebenarnya masih penting untuk menjelaskan topik-topik high politics namun jika fenomena yang akan diteliti adalah low politics yang cenderung lebih kompleks dan lintas batas negara, maka menurut penulis, level analisis tidak terlalu diperlukan lagi


Peran Australia Dalam Penanganan Pemberontakan Bougenville PNG


Studi kasus yang coba penulis angkat adalah mengenai peran Australia dalam penanganan pemberontakan Bougenville PNG. Penulis menggunakan level analisi negara (unit) sebagai unit analisisnya sekaligus sebagai unit eksplanasinya. Unit analisis dalam penelitian ini adalah peran Australia dalam proses penyelesaian konflik pemberontakan Bougainville PNG. Sedangkan, unit eksplanasinya adalah kepentingan nasional Australia.

Pembagian kekuasaan yang dilakukan oleh negara-negara besar di kawasan Pasifik Selatan seringkali diwarnai dengan aksi pemberontakan dari pihak masyarakat Pasifik Selatan. Salah satu gerakan pemberontakan yang paling terkenal di kawasan pasifik selatan adalah pemberontakan Bougainville di Papua New Guinea (PNG). Bougainville merupakan sebuah wilayah di PNG yang merupakan sebuah negara persemakmuran Inggris dan berada dibawah pengawasan langsung Australia. Akar permasalahan pemberontakan Bougainville terletak pada posisi geografis wilayah ini yang lebih dekat dengan Kepulauan Salomon daripada PNG sendiri. Jarak Bougainville ke Solomon hanya 7 kilometer, sedangkan jarak Bougainville ke daratan utama PNG adalah 500 kilometer. Sementara itu, ada juga yang berpendapat bahwa masalah pemberontakan Bougainville merupakan implikasi ketimpangan pendapatan antara penduduk setempat dengan pemerintah PNG . Penduduk Bougainville hanya menikmati uang hasil sewa tanah dari tanah yang kaya akan bijih besi, sementara keuntungan terbesar dari eksploitasi ini jatuh ke tangan perusahaan Bougainville Copper Limited (BCL), cabang dari perusahaan Conzinc Rio-Tinto yang berpusat di Australia dan menyumbang 45% dari total ekspor PNG dan memasukkan sekitar 20% devisa pemerintah PNG .

Australia, sebagai negara yang diberi mandat oleh PBB untuk mengatur wilayah PNG dan Nauru, memiliki pengaruh kuat terhadap keduanya meskipun PNG dan Nauru telah mendapatkan kemerdekaannya. PNG merupakan daerah sangat penting bagi kepentingan Australia terutama sebagai basis pertahanan militer yang sekaligus berpotensi secara ekonomis. Dilihat dari kepentingan nasionalnya, ancaman keamanan yang terjadi di PNG juga merupakan ancaman bagi Australia sebagai negara tetangga. Selain itu. perusahaan pertambangan yang berada di wilayah Bougainville ini adalah milik Australia, hal ini membuat Australia mau tidak mau memiliki kepentingan yang besar sehingga konflik ini harus segera diakhiri. Melihat kepentingan yang begitu besar di PNG ini, maka dapat dimengerti jika Australia banyak berperan dalam membantu pemerintah PNG mengatasi pemberontakan Bougainville. Bantuan Australia termasuk obat-obatan, pelatihan militer, maupun akomodasi pasukan yang bertugas di PNG.
Sebagai negara besar di kawasan Pasifik Selatan, Australia juga berkepentingan untuk menjaga perannya sebagai penguasa regional. Posisi Pasifik Selatan yang menyebar di utara dan timur Australia merupakan jalur bagi kapal-kapal dari arah utara menuju Australia. Maka, PNG dilihat sebagai tameng bagi pertahanan Australia. Selain itu, kepentingan Australia juga berkaitan dengan upaya negara tersebut dalam menghadapi masalah imigran. PNG digunakan Australia sebagai tempat penampungan imigran yang datang ke Australia. Kebijakan ini didasarkan atas Australia’s policy of mandatory detention and the Pacific Solution.










Reference :

Griffiths, Martin dan O’Callaghan, Terry. 2002. ‘International Relations: The Key Concepts”. London: Routledge.
Hudson, Valerie. 2007. Foreign Policy Analysis; Classic and Contemporary Theory. Rowman&Littlefield Publishers. USA.
Silalahi, Ulber. 2006. Metode Penelitian Sosial. Unpar Press. Bandung.
Singer, David J. 1961. The Level-of-Analysis Problem in International Relations dalam jurnal World Politics, vol. 14, no. 1, The International System : Theoretical Essays, pp. 77-92. Diakses melalui http://links.jstor.org/sici?sici=0043.htm tanggal 10 november 2009.
Sriwinarti, M. Tati (skripsi). 1990. Kebijaksanaan Australia terhadap Papua Nugini Menjelang dan Setelah Kemerdekaan: Perubahan atau Kesinambungan Kolonialisme. Jakarta: FISIP-UI.
The Australian, 7 Juli 1989