Jumat, 23 April 2010

Level of Analysis : Dilema reduksionis dan behavioralis dalam Penelitian. studi kasus Peran Australia Dalam Penanganan Pemberontakan Bougenville PNG

Dalam melakukan penelitian, khususnya dalam bidang kajian Hubungan Internasional, diperlukan suatu fokus pada tingkat analisis agar hasil yang diperoleh lebih tangible, terarah dan teruji. David Singer mengemukakan bahwa ada beberapa cara bagaimana suatu fenomena yang diteliti direduksi dan diatur dalam suatu penelitian (Singer, 1961:1). Dalam proses penelitiannya, tidak mungkin seorang peneliti dapat meneliti keseluruhan sistem, melainkan memilih satu bagian atau beberapa bagian sebagai fokus penelitian dalam sistem tersebut untuk diteliti. Inilah yang kemudian disebut level analisis.

Tingkat analisis sendiri sering disebut juga sebagai level analisis yang terdiri dari level individual, negara (unit) dan level internasional (Waltz: 1959). Menurut Kenneth Waltz, level analisis individu lebih menganggap bahwa fenomena HI pada akhirnya adalah akibat dari perilaku individu-individu yang berinteraksi didalamnya. Dalam memahami fenomena HI, level anlisis individu lebih menelaah sikap dan perilaku tokoh utama suatu negara, seperti kepala pemerintahan, menteri luar negeri dan aktor individu kunci lainnya. Sedangkan pada level negara, mengasumsikan bahwa hubungan internasional pada dasarnya didominasi oleh perilaku negara bangsa. Disini, perilaku individu hanya akan diperhatikan sejauh perilaku mereka berkaitan dengan tindakan internasional negara yang bersangkutan. Jadi, level ini menganggap bahwa keputusan tentang hubungan internasional yaitu politik luar negeri oleh suatu negara harus dipahami secara utuh. Level analisis internasional memandang bahwa negara-negara di dunia ini dan interkasi mereka didalamnya sebagai suatu sistem. Struktur sistem yang telah terbentuk pada akhirnya menentukan perilaku dari aktor-aktor hubungan internasional yang terlibat didalamnya. Menurut level ini, sistem harus benarbenar dipahami dan selanjutnya membuat generalisasi yang tepat tentang sistem tersebut sebagai suatu keseluruhan.

Lebih jauh lagi, Valerie Hudson mengemukakan beberapa level analisis dalam kajian proses pengambilan keputusan dalam beberapa level yaitu (1)level analisis individual, (2)group decision-making, domestic politics and opposition, (3)cultural and national identity, (4)national attribute and international system. Menurut Hudson, dalam level analisis individu, tidak setiap saat karakter psikoligis seorang pemimpin dapat dijadikan determinan utama dalam pembuatan kebijakan. Terdapat kelompok-kelompok yang ikut mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan tersebut, misalnya kelompok kepentingan, kelompok militer dsb. Kultur, identitas nasional, politik domestik dan oposisi juga merupakan salah satu pijakan dalam pengambilan keputusan suatu kebijakan. Level analisis Hudson yang terakhir yaitu level analisa national attributes merupakan power yang dimiliki oleh suatu negara yang mempengaruhi interaksinya terhadap negara lain.

Sejak saat perang dingin berakhir hingga saat ini, kecenderungan yang terjadi dalam sebagian besar penelitian kajian Hubungan Internasional, level analisis negara menjadi level analisis yang lebih populer dibandingkan yang lainnya. Hal ini dapat dimengerti sebagai suatu bentuk respon peneliti terhadap kemunculan negara-negara baru paska perang dingin dimana jumlah negara bertambah tiga kali lipat dari sekitar 50an pada masa perang dunia menjadi 150an saat perang dingin berakhir. Sedangkan jika dianalisis, penggunaan level analisis dari perspektif relativisme dan rekonsiliasionis maka level analisis ini dapat dijelaskan penggunaannya berdasarkan cara mengintepretasikan realita social masing-masing. Realita atau fakta social yang dipandang secara berbeda bergantung pada sudut pandang dan pengalaman peneliti menyebabkan pandangan relativis mengenai signifikansi level analisis tidak begitu penting. Hal ini juga berangkat dari setiap aspek kehidupan yang dianggap memiliki tingkat kebenaran yang relatif sesuai dengan cara penafsiran fakta sosial tersebut. Maka dari itu, pemaknaan suatu realita menjadi bersifat individual, tidak lagi berdasarkan pada tiga level analisis yang dikenal dalam studi hubungan internasional. Begitupun menurut kaum rekonsiliasionis, yang cenderung lebih fleksibel dalam menentukan perspektif dalam sebuah penelitian. Jadi adanya atau ketiadaan level analisis dalam penelitian kurang begitu berpengaruh dalam penelitian yang dilakukan kaum rekonsiliasionis.

Penggunaan level analysis dalam penelitian HI ini sendiri sebenarnya telah lama nengundang perdebatan. Permasalahan yang diperdebatkan sebenarnya berakar dari isu-isu yang coba diangkat dalam penelitian itu sendiri. Biasanya, level analisis digunakan dalam topik-topik high politics yang lebih mudah diukur dan dianalisis dari level tertentu. Topik high politics mencakup pembahasan mengenai aksi-reaksi suatu negara maupun interaksi antar negara dalam politik internasional. Hal ini terlihat pada level analisis yang dikemukakan oleh akademisi-akademisi HI, seperti: Rosenau, Coplin, Waltz, Singer, maupun Hudson yang kesemuanya berada dalam tataran analisis interaksi antar negara. Namun, perkembangan kontemporer yang menunjukkan pergeseran topik dari high politics menjadi low politics menjadikan penentuan level analisis menjadi lebih sulit. Topik-topik seperti pembahasan human security dan enviromental damage seperti yang dikemukakan oleh Barry Buzan, hal itu justru akan mendistorsi fenomena tersebut. Level analisis mungkin malah mereduksi kompleksitas fenomena tersebut, seperti siapa sajakah yang terlibat dan mengapa itu terjadi. Fenomena sosial yang kompleks tidak dapat direduksi dan diteliti menggunakan satu level analisis saja. Jadi menurut penulis, level analisis sebenarnya masih penting untuk menjelaskan topik-topik high politics namun jika fenomena yang akan diteliti adalah low politics yang cenderung lebih kompleks dan lintas batas negara, maka menurut penulis, level analisis tidak terlalu diperlukan lagi


Peran Australia Dalam Penanganan Pemberontakan Bougenville PNG


Studi kasus yang coba penulis angkat adalah mengenai peran Australia dalam penanganan pemberontakan Bougenville PNG. Penulis menggunakan level analisi negara (unit) sebagai unit analisisnya sekaligus sebagai unit eksplanasinya. Unit analisis dalam penelitian ini adalah peran Australia dalam proses penyelesaian konflik pemberontakan Bougainville PNG. Sedangkan, unit eksplanasinya adalah kepentingan nasional Australia.

Pembagian kekuasaan yang dilakukan oleh negara-negara besar di kawasan Pasifik Selatan seringkali diwarnai dengan aksi pemberontakan dari pihak masyarakat Pasifik Selatan. Salah satu gerakan pemberontakan yang paling terkenal di kawasan pasifik selatan adalah pemberontakan Bougainville di Papua New Guinea (PNG). Bougainville merupakan sebuah wilayah di PNG yang merupakan sebuah negara persemakmuran Inggris dan berada dibawah pengawasan langsung Australia. Akar permasalahan pemberontakan Bougainville terletak pada posisi geografis wilayah ini yang lebih dekat dengan Kepulauan Salomon daripada PNG sendiri. Jarak Bougainville ke Solomon hanya 7 kilometer, sedangkan jarak Bougainville ke daratan utama PNG adalah 500 kilometer. Sementara itu, ada juga yang berpendapat bahwa masalah pemberontakan Bougainville merupakan implikasi ketimpangan pendapatan antara penduduk setempat dengan pemerintah PNG . Penduduk Bougainville hanya menikmati uang hasil sewa tanah dari tanah yang kaya akan bijih besi, sementara keuntungan terbesar dari eksploitasi ini jatuh ke tangan perusahaan Bougainville Copper Limited (BCL), cabang dari perusahaan Conzinc Rio-Tinto yang berpusat di Australia dan menyumbang 45% dari total ekspor PNG dan memasukkan sekitar 20% devisa pemerintah PNG .

Australia, sebagai negara yang diberi mandat oleh PBB untuk mengatur wilayah PNG dan Nauru, memiliki pengaruh kuat terhadap keduanya meskipun PNG dan Nauru telah mendapatkan kemerdekaannya. PNG merupakan daerah sangat penting bagi kepentingan Australia terutama sebagai basis pertahanan militer yang sekaligus berpotensi secara ekonomis. Dilihat dari kepentingan nasionalnya, ancaman keamanan yang terjadi di PNG juga merupakan ancaman bagi Australia sebagai negara tetangga. Selain itu. perusahaan pertambangan yang berada di wilayah Bougainville ini adalah milik Australia, hal ini membuat Australia mau tidak mau memiliki kepentingan yang besar sehingga konflik ini harus segera diakhiri. Melihat kepentingan yang begitu besar di PNG ini, maka dapat dimengerti jika Australia banyak berperan dalam membantu pemerintah PNG mengatasi pemberontakan Bougainville. Bantuan Australia termasuk obat-obatan, pelatihan militer, maupun akomodasi pasukan yang bertugas di PNG.
Sebagai negara besar di kawasan Pasifik Selatan, Australia juga berkepentingan untuk menjaga perannya sebagai penguasa regional. Posisi Pasifik Selatan yang menyebar di utara dan timur Australia merupakan jalur bagi kapal-kapal dari arah utara menuju Australia. Maka, PNG dilihat sebagai tameng bagi pertahanan Australia. Selain itu, kepentingan Australia juga berkaitan dengan upaya negara tersebut dalam menghadapi masalah imigran. PNG digunakan Australia sebagai tempat penampungan imigran yang datang ke Australia. Kebijakan ini didasarkan atas Australia’s policy of mandatory detention and the Pacific Solution.










Reference :

Griffiths, Martin dan O’Callaghan, Terry. 2002. ‘International Relations: The Key Concepts”. London: Routledge.
Hudson, Valerie. 2007. Foreign Policy Analysis; Classic and Contemporary Theory. Rowman&Littlefield Publishers. USA.
Silalahi, Ulber. 2006. Metode Penelitian Sosial. Unpar Press. Bandung.
Singer, David J. 1961. The Level-of-Analysis Problem in International Relations dalam jurnal World Politics, vol. 14, no. 1, The International System : Theoretical Essays, pp. 77-92. Diakses melalui http://links.jstor.org/sici?sici=0043.htm tanggal 10 november 2009.
Sriwinarti, M. Tati (skripsi). 1990. Kebijaksanaan Australia terhadap Papua Nugini Menjelang dan Setelah Kemerdekaan: Perubahan atau Kesinambungan Kolonialisme. Jakarta: FISIP-UI.
The Australian, 7 Juli 1989

1 komentar:

  1. eneeeeng,, baru tau,, aku,, kamu punya Blog,, hehehe

    greaatt!

    .nyut.

    BalasHapus