Rabu, 28 April 2010

Politik Apartheid : Sebuah Kesalahan Kolonial Yang Terwariskan

Membicarakan dinamika negara Afrika Selatan tentu tidak dapat terlepas dari aspek historis negara ini yang pernah mengalami praktek politik rasialis apartheid sejak tahun 1930an ketika Partai Nasional memenangkan pemilihan umum. Sejak saat itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Afrika Selatan cenderung melembagakan hal-hal yang berbau rasial di dalam hampir semua aspek kehidupan rakyatnya. Sebenarnya, praktek-praktek rasialis ini banyak ditemukan juga di negara negara lain di era kolonialisme, salah satunya adalah Indonesia yang ketika VOC berkuasa, terjadi segregasi kelompok ras yang terbagi atas ras pribumi, non-pribumi, dan peranakan. Kebijakan yang dilakukan oleh VOC di Indonesia juga menyangkut aspek-aspek publik seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Namun yang membuat era apartheid Afrika Selatan ini berbeda dengan segregasi dan kebencian rasial yang terjadi di negara-negara lain adalah cara sistematis yang dilakukan oleh Partai Nasional, yang mulai berkuasa pada 1948, dengan memformalkan praktek rasialis ini melalui hukum. Hal ini berbeda dengan praktek-praktek rasial yang dilakukan di negara lain yang hanya dalam tataran peraturan yang tidak tertulis.
Dalam menganalisa kebijakan politik apartheid ini, terdapat perdebatan mengenai akar sejarah darimana sebenarnya apartheid ini berasal. Apakah merupakan warisan kolonialisme ataukah pengelolaan negara pasca kolonial yang disengaja untuk disimpangkan. Menurut penulis, praktek apartheid yang dilakukan oleh Partai Nasional Afrika Selatan lebih merupakan problem warisan pengelolaan era kolonial yang diteruskan ketimbang problem kegagalan pengelolaan pasca kolonial. Statement tersebut akan penulis jabarkan dalam paper ini dengan menganalisis perbandingan data era kolonial dan era pasca kolonial. Kemudian di akhir analisa akan penulis kemukakan kembali statement tersebut sebagai penguat berdasarkan pada data-data yang relevan beserta rujukan pada kasus-kasus besar yang ikut berperan dalam dinamika praktek apartheid ini.

Defining Apartheid (www.merriam-webster.com)
Entri kata: apart•heid
Fungsi: kata benda
Etimologis: merupakan Afrikaans, from apart apart + -heid -hood
1 : segregasi social; secara spesifik diartikan sebagai kebijakan segregasi dan diskriminasi ekonomi politik terhadap kelompok non-eropa di Afrika Selatan.
2 : Separasi, Segregasi.

paper ini menggunakan definisi pertama sebagai bahan rujukan arti kata

Sejarah Panjang Kolonialisme Afrika Selatan
Praktek apartheid di Afrika Selatan sebenarnya telah berakar pada awal era kolonialisme, yakni di abad ke-17, dan terutama setelah industri pertambangan membawa Afrika Selatan sepenuhnya ke dalam orbit kapitalis di abad ke-19. bangsa yang pertama datang ke wilayah Afrika Selatan adalah bangsa Belanda. Mereka datang dengan pola pemikiran Calvinisme fundamentalis yang menolak perkembangan intelektualisme dan rasionalisme di Eropa (Rodney : 1973). Orang-orang ini kemudian menyebut diri mereka sebagai bangsa Boer (Afrikaner) yang kemudian mengembangkan sebuah identitas berbeda dari identitas eropa. Mereka melakukan imigrasi dari Belanda ke Afrika Selatan ketika Inggris menguasai negara tersebut pada Perang Napoleon. Di Afrika Selatan, penduduk Pribumi diperlakukan atas dasar superioritas keagamaan dan rasial dimana nbangsa Boer menganggap bahwa bangsa pribumi tidak lebih dari mereka. Isolasi bangsa Boer dari Inggris ini tidak berlangsung lama karena hanya dalam beberapa dekade, di Afrika Selatan banyak ditemukan tambang emas dan berlian. Perang Boer-pun meletus ketika bangsa Inggris akhirnya datang ke Afrika Selatan dimana Inggris berhasil memenangkan perang atas Boer. Namun meskipun bangsa Boer mengalami kekalahan telak, hal itu tidak menghilangkan identitas spritual mereka sebagai bangsa yang berbeda dari bangsa eropa. Sejak saat itu, kedua negara memerintah bersama-sama mulai tahun 1910 di bawah Uni Afrika Selatan.
Pada dasarnya, peletakan fondasi utama dari praktek apartheid ini dimulai ketika uni afrika selatan ini terbentuk. Meskipun pada awalnya pihak Inggris berharap bahwa kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintahan Uni afrika selatan ini tidak didasarkan atas ras tertentu. Tetapi sayangnya hal tersebut tidak ditindaklanjuti dengan pengawasan ketat karena pemerintahan Inggris lebih tertarik dalam aspek penyatuan negara ini kedalam kerajaannya Inggris. Dalam pandangan Inggris, ketika sebuah wilayah dilihat sebagai entitas “uni”, maka negara tersebut akan mendapatkan lebih banyak kebebasan dari Inggris. Dalam hal ini, berarti bahwa Inggris memberikan kebebasan bagi Afrikaner untuk mengelola uni afrika selatan secara penuh.
Pada Juni 1918 Afrikaner membentuk satu organisasi baru bernama Jong Suid-Afrika (Young Afrika Selatan) yang kemudian berganti nama menjadi Broederbond Afrikaner (AB) satu tahun setelahnya. Organisasi ini memiliki satu tujuan utama yakni untuk membentuk nasionalisme Afrikaner lebih lanjut di Afrika Selatan - untuk mempertahankan budaya Afrikaner, mengembangkan ekonomi Afrikaner, dan untuk mendapatkan kontrol dari pemerintah Afrika Selatan (http://africanhistory.about.com/).
Selama tahun 1930-an Broederbond Afrikaner menjadi semakin berpengaruh dalam bidang politis, yang dapat terlihat dari terbentuknya organisasi-organisasi publik baru terutama Federasie van Afrikaanse Kultuurvereniginge (FAK - Federasi Budaya Masyarakat Afrikaans) yang difungsikan sebagai payung bagi kelompok-kelompok kebudayaan Afrikaner. Pengaruh politik yang besar dari The Broederbond Afrikaner mulai jelas terlihat pada tahun 1934 ketika JBM Hertzog menggabungkan Partai Nasional (NP) dengan Jan Smuts 'Partai Afrika Selatan (SAP), untuk membentuk Partai Serikat (UP). Namun, di dalam Partai Nasional terdapat gerakan pemisahan diri yang berasal dari DF Malan, seorang radikalis yang kemudian membentuk Partai Herenigde Nasionale (HNP - 'Partai Nasional bersatu kembali') dan didukung sepenuhnya oleh The Broederbond Afrikaner .
Ketika pemilihan umum pertama dilakukan, kekuasaan dimenangkan oleh Partai Nasional yang kemudian menerapkan kebijakan apartheid secara terlembaga. Elit Partai Nasional melembagakan praktek apartheid ini sebagai alat untuk mempermudah kontrol mereka dalam aspek ekonomi dan sosial. Sedangkan tujuan dari apartheid ini adalah untuk memelihara dominasi kulit putih yang kemudian berakhir pada pemisahan rasial. Dengan berlakunya undang-undang apartheid tahun 1948, diskriminasi mulai menyentuh setiap aspek kehidupan sosial, termasuk larangan pernikahan antara non-putih dan putih, dan Penetapan pekerjaan''putih” saja.

Kebijakan Apartheid Pasca Kolonialisme
Kebijakan pertama apartheid secara resmi mengatur aspek pernilahan diantara kedua ras. Berdasarkan aturan Prohibition of Mixed Marriages Act, Act No 55 of 1949, pernikahan antara orang kulit hitam dan putih dilarang dan jika dilakukan, maka tidak akan tercatat dalam hukum. Kemudian secara lebih mendalam, Immorality Amendment Act, Act No 21 of 1950; amended in 1957 (Act 23), hubungan dewasa antara kulit hitam dan putih ditetapkan (http://www.africanaencyclopedia.com/).
Dalam aspek kependudukan, Population Registration Act, Act No 30 of 1950 dikeluarkan untuk mendaftar setiap ras masyarakat. Lalu tidak lama setelah itu Group Areas Act, Act No 41 of 1950 dikeluarkan. Kebijakan ini menandakan bahwa akan ada pemisahan wilayah antara ras kulit putih dan ras kulit hitam. Satu tahun setelah kebijakan tersebut dibuat, untuk mengatur sektor sumber daya manusia kulit hitam, dikeluarkanlah Bantu Building Workers Act, Act No 27 of 1951. Berdasarkan kebijakan ini, orang-orang dari kulit hitam dapat dilatih menjadi pekerja bangunan dimana sebelumnya pekerjaan tersebut hanya diperuntukkan bagi orang-orang ras kulit putih. Namun perlu digarisbawahi bahwa pekerjaan tersebut bertempat di wilayah yang ditinggali ras kulit hitam. Jika mereka bekerja pada daerah kulit putih maka hal tersebut dianggap tindakan kriminal. Selanjutnya, dikeluarkan Prevention of Illegal Squatting Act, Act No 52 of 1951 yang memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menghilangkan ras kulit hitam dari tanah – tanah milik publik atau privat untuk selanjutnya ditempatkan pada camp-camp tertentu. Dalam aspek politis, kebijakan apartheid yang dikeuarkan seperti Separate Representation of Voters Act, Act No 46 of 1951 dan amandemennya mengatur bahwa orang-orang ras kulit hitam tidak memiliki hak suara dalam bidang politis.

Analisa
Permasalahan rasisme yang pada awalnya dibawa oleh bangsa Eropa ini sebenarnya jika dikajis ecara lebih mendalam, merupakan elemen yang berakar dari pemikiran Eropa. Fakta sederhananya adalah bahwa tidak ada orang yang dapat memperbudak lain selama berabad-abad tanpa keluar dengan gagasan superioritas, dan ketika dihadapkan pada ciri-ciri fisik dan warna kulit yang memang berbeda, maka tak terelakkan bahwa prasangka harus mengambil bentuk rasis. Di Afrika sendiri, tepatnya di Provinsi Tanjung Afrika Selatan, orang kulit putih telah mempersiapkan superioritas militer dan sosial di non-putih sejak 1650.
Selain fakta kecil tersbut, adanya gerakan anti-Semitisme di Eropa dimana selalu ada unsur kecurigaan dan ketidakpahaman ketika orang-orang dari budaya yang berbeda datang bersama-sama. Namun, dapat ditegaskan bahwa rasisme yang terbentuk di Afrika Selatan maupun kawasan Afrika yang lain ini merupakan bagian integral dari cara produksi kapitalis. Juga bukan hanya pertanyaan tentang bagaimana individu kulit putih memperlakukan individu kulit hitam. Akar dari rasisme Eropa adalah generalisasi dan asumsi yang tidak memiliki dasar ilmiah, tetapi dirasionalisasikan dalam setiap bidang dari teologi ke biologi.
Hal yang keliru pula jika menyatakan bahwa Afrika diperbudak Eropa karena karena alasan rasis. Penduduk pribumi Afrika diperbudak penambang karena alasan ekonomi sehingga tenaga kerja mereka bisa dieksploitasi. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa pada abad ke-19 rasisme kulit putih itu menjadi begitu dilembagakan dalam dunia kapitalis (dan terutama di Amerika Serikat) yang kadang-kadang terlalu memaksimalkan keuntungan sebagai motif untuk menindas orang kulit hitam.
Selalu ada kontradiksi antara elaborasi ide-ide demokrasi di Eropa dan elaborasi dari praktik otoriter oleh Eropa terhadap Afrika. Ketika Revolusi Perancis terjadi atas nama 'kebebasan, Kesetaraan dan Persaudaraan", hal itu tidak meluas ke Afrika diperbudak oleh Prancis di Hindia Barat dan Samudera Hindia. Disini menurut penulis, pemikiran-pemikiran rasisme tersebut pada akhirnya memberikan kontribusi yang sangat besar bagi terlembaganya kebijakan rasialis apartheid terutama di Afrika Selatan.
Apartheid kurang dapat dilihat sebagai kegagalan pengelolaan pasca kolonial karena akar dari budaya apartheid ini selama beberapa abad telah masuk jauh kedalam budaya Afrika juga. Dengan penanganan orang pribumi oleh bangsa Eropa secara tidak sejajar dalam artian bangsa Eropa memposisikan diri secara lebih superior daripada bangsa Afrika, maka hal tersebut secara tidak langsung ikut menentukan pola pikir bangsa Afrika sebagai bangsa yang inferior. Pemosisian secara tidak sadar inilah menurut penulis yang pada akhirnya memperlancar terlembaganya kebijakan apartheid. Sedemikian besar pengaruh penjajahan, sehingga mempengaruhi pola pikir, pola penghayatan hidup serta pola perilaku masyarakat poskolonial. Negara-bangsa yang terbentuk pun seolah mengalami krisis identitas atau krisis percaya diri, tidak memiliki pegangan yang mantap dan jelas sehingga mudah digoyahkan dan diombang-ambingkan oleh relasi ketergantungan.
Jadi dari sini dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah yang menghinggapi Afrika ini lebih merupakan warisan pengelolaan era kolonialisme yang kemudian diawetkan dengan dilembagakannya praktek apartheid di negara Afrika Selatan ketimbang problem kegagalan pengelolaan pasca kolonial. Apartheid tidak dapat dilihat sebagai kegagalan pengelolaan pasca kolonial karena memang pada dasarnya peletak dasar bangunan apartheid ini berasal dari bangsa Barat yang sudah pasti berkepentingan untuk melanggengkan kekuasaannya di afrika.



Daftar pustaka :

Rodney , Walter. (1973). How Europe Underdeveloped Africa. Dar-Es-Salaam : Bogle-L'Ouverture Publications, London and Tanzanian Publishing House
Conan Doyle, Arthur.(1901). The Great Boer War. London: George Bell & Sons.
http://www.merriam-webster.com/dictionary/apartheid
http://www.africanaencyclopedia.com/apartheid/apartheid.html
http://www.southafrica.to/history/Apartheid/apartheid.htm
http://africanhistory.about.com/od/apartheidfaq/Apartheid_FAQ.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar